Sabtu, 23 Januari 2016

Mengapa Hasan Tiro Mendeklarasikan GAM?

Mengapa Hasan Tiro Mendeklarasikan GAM?

portalsatu.com - 06 December 2015 21:00
Di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya.

SELEMBAR bendera berlatar merah dengan logo bintang bulan plus strip hitam diikat di seutas benang oleh beberapa pemuda. Di ujung benang tersebut terdapat beberapa balon oksigen warna-warni. Setelah selesai, beberapa pemuda tersebut melepas balon ini ke udara. Teriakan Aceh Merdeka pun menggema.
Demikian sekilas peristiwa dalam peringatan Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dilaksanakan di Taman Sri Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Jumat, 4 Desember 2015 lalu. Para pemuda tersebut mengatakan jika bendera tidak bisa berkibar di darat maka mereka akan megibarkannya di langit Aceh.
Seperti diketahui, GAM merupakan gerakan perjuangan Aceh melawan ketidakadilan Jakarta. Gerakan ini dideklarasikan oleh Dr. Hasan Muhammad di Tiro pada 1976 lalu.
+++
TENGKU Hasan Tiro merupakan deklarator kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 4 September 1930 di Kampung Tiro, sekitar 20 km dari Sigli. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Syeh Muhammad Saman di Tiro. Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan. Tengku Pocut inilah cucu perempuan Tengku Muhammad Saman di Tiro.
Hasan Tiro pernah terlibat aktif dalam berbagai organisasi ke-Indonesiaan sebelum berangkat ke Amerika pada 1950. Ia, bersama abangnya, Zainal Abidin, aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Hasan bahkan pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945.
Hasan Tiro juga pernah menjadi staf Wakil Perdana Menteri II Syafruddin Prawiranegara. Atas jasa Syafruddin jugalah Hasan mendapat beasiswa Colombo Plan ke Amerika. “Malah sambil kuliah dia diperbantukan sebagai staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB,” kata Isa Sulaiman, sejarawan dari Universitas Syiah Kuala seperti ditulis Majalah Tempo. Artinya, pada suatu periode Hasan pernah menaruh harapan pada Indonesia.
Sikap Hasan Tiro mencintai Indonesia berubah saat kemelut politik menyambangi Aceh. Saat itu, Teungku Daud Beureueh, salah satu ulama Aceh memproklamirkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM Kartosoewiryo.
Hasan Tiro yang mencintai Aceh lantas mengingatkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar menghentikan serangan bersenjata di tanah leluhurnya. Dari Amerika Serikat dia turut mengultimatum pemerintahan Soekarno agar tidak memerangi DI/TII pimpinan Daud Beureueuh. Dia mengancam akan membahas hal ini dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Menurutnya jika Ali Sastroamidjojo mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik tersebut dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia pada saat itu.
Ada beberapa poin tuntutan Hasan Tiro yang ditujukan untuk pemerintah Indonesia jika tidak menggubris permintaannya. Di antaranya membuka perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
Selain itu, Hasan Tiro juga mengancam akan mengajukan rejim komunis-fasis Ali Sastroamidjojo kepada General Assembly PBB dan Human Right terkait pembunuhan, pelanggaran dan penganiayaan yang dilakukan tentara Indonesia di Aceh. “Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi,” ujar Hasan Tiro seperti dikutip dari The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984
Peringatan yang dikeluarkan Hasan Tiro tersebut disambut dengan penarikan paspor oleh Ali Sastroamidjojo. Akibatnya pada 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Namun berkat bantuan beberapa senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat.
Pertarungan Hasan Tiro dengan pemerintah Indonesia kemudian mengantarkannya ke kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam. Dari pergulatannya sebagai warga negara Amerika, dirinya telah berhasil menerbitkan beberapa buku termasuk buku berjudul Atjeh Bak Mata Donja. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Aceh yang menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik.
Hasan Tiro turut mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda. Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat.
Ada dua dokumen penting yang didapatkan Hasan Tiro di Markas PBB, yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain
Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh.
Barulah pada Januari 1965, Hasan menggagas ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Ide Aceh Sumatera diambil Tiro dari wilayah Kesultanan Iskandar Muda. Pada masa jayanya kerajaan ini memang pernah sampai menguasai Lampung, Bengkulu, dan sebagian wilayah Malaysia. Dengan kata lain, pembebasan yang ingin dilakukan oleh GAM adalah pembebasan terhadap seluruh Sumatra.
+++
SABTU, 30 Oktober 1976, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeum.
“Itu adalah malam pertama di tanah airku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro.
Kunjungan Hasan Tiro bersifat rahasia dengan misi tunggal memerdekakan Aceh. “Tak ada seorang pun di negeri ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan Tiro.
“Aku sudah lama memutuskan bahwa deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”
Maka begitulah, di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Dan tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan.
“Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai negara yang berdaulat sejak dunia diciptakan…”
Sejak itu, Pemerintah Indonesia mengirim hampir 50 ribu tentara dikirim ke Aceh. Jakarta juga menganggarkan Rp 1,23 triliun untuk pelaksanaan operasi keamanan di propinsi paling ujung Sumatera tersebut. Beberapa operasi yang konon merenggut banyak nyawa warga sipil yaitu Operasi Jaring Merah, Darurat Militer, Darurat Operasi Militer dan Darurat Sipil.
Ribuan nyawa melayang dan tidak sedikit pula warga Aceh yang dinyatakan hilang. Konflik yang berlangsung hampir 30 tahun ini membuat ekonomi Aceh terpuruk. Hingga akhirnya tsunami meluluhlantakkan daratan Aceh pada 26 Desember 2014. Kedua belah pihak akhirnya sepakat cease-fire (gencatan senjata). Saat itu, pemerintahan SBY-JK juga menawarkan perdamaian.
Tiga tahun setelah perdamaian, akhirnya Hasan Tiro pulang kampung. Dia menumpangi pesawat sewaan dari Malaysia bersama sejumlah pimpinan GAM lainnya. Pesawat yang mengangkut Hasan Tiro mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda pada 11 Oktober 2008 lalu.
Kedatangan Hasan Tiro mendapat pengawalan yang ketat oleh satuan tugas di bawah komando Komite Peralihan Aceh—lembaga yang dibentuk untuk menampung mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka.
Nampak kegembiraan dari dirinya saat menginjakkan kaki pertama kali setelah puluhan tahun meninggalkan Aceh. Dia bersujud dan mencium tanah sebagai wujud syukur telah berhasil kembali ke tanah leluhurnya.
Hasan Tiro saat itu belum memutuskan untuk menetap di Aceh. Dirinya kembali ke Swedia setelah mengunjungi tanah kelahirannya di Tiro, Pidie dan mengunjungi makam Teungku Chik Di Tiro di Meureu, Indrapuri. Baru pada 2010 dirinya kembali ke Aceh.
Memasuki bulan Juni 2010, sang deklarator GAM tersebut kemudian menderita sakit. Dia divonis komplikasi organ dalam dan sakit jantung oleh tim medis. Dia dibawa ke RSUDZA Banda Aceh untuk mendapatkan perawatan intensif. Saat itu, dokter yang merawatnya mengatakan tekanan darah Hasan Tiro mencapai 70-40.
Hasan Tiro yang terbaring di RSUDZA kemudian mendapat kejutan dari Pemerintah Aceh. Dirinya yang telah lama mengantongi kewarganegaraan Swedia telah beralih status menjadi Warga Negara Indonesia pada 2 Juni 2010. Namun 26 jam setelah mendapatkan kewarganegaraan tersebut, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap.
+++
Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) H Muzakir Manaf mengaku sangat mengagumi dan menghormati sosok Hasan Tiro. Bagi pria yang akrab disapa Mualem ini, Hasan Tiro adalah sosok guru dan pemimpin kharismatik yang disegani.
Menyoe hana gob nyan, uroe nyoe hana Milad GAM,” kata Muzakir Manaf saat memberikan sambutan dalam peringatan Milad ke 39 GAM di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Jumat, 4 Desember 2015.
Muzakir Manaf mengatakan Hasan Tiro bukan hanya tokoh ispiratif dalam perjuangan. Namun juga tokoh intelektual dalam Islam yang menguasai beberapa ilmu.
“Almarhum wali adalah ulama, dengan latar belakang ilmu beliau seperti mantiq, tafsir, bahasa Arab, dan lainnya,” kata Mualem.
Mualem juga mengatakan pendidikan yang diberikan oleh Hasan Tiro sangat bermanfaat baginya.[] dari berbagai sumber/bna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar