23/01/16 oleh Armia
Suatu hari pada September 1998, di
pertengahan musim gugur, seorang lelaki muda keluar dari lambung pesawat
yang baru mendarat di bandara Arlanda, Stockholm, Swedia. Lelaki
berperawakan kecil dan berkulit putih itu baru saja tiba dari Malaysia.
Muzakir Abdul Hamid, lelaki itu, adalah salah satu pemuda Aceh yang
mendapat suaka politik ke Swedia dari UNHCR, lembaga PBB yang menangani
urusan pengungsi. Mereka dikejar-kejar pemerintah Malaysia karena
menjadikan negara itu sebagai basis gerakan baru setelah diburu tentara
di Aceh.
Sempat menetap di luar kota
Stockholm, pada tahun 2000 ia pindah ke pusat kota. Tinggal di sebuah
rumah yang berjarak 15 kilometer dari rumah Hasan Tiro, sejak itu
Muzakir menghabiskan hari-harinya bersama wali nanggroe.
Sebelas tahun menemani Hasan
Tiro sebagai staf khusus, ia merekam banyak hal tentang keseharian Wali.
Setiap hari, Hasan Tiro memulai hari dengan menganyuh sepeda fitness di
apartemennya. Usai mandi, Wali memulai sarapan sambil membaca koran
Internasional Herald Tribune langganannya dan berlanjut dengan menonton
saluran televisi berita internasional seperti CNN dan BBC. Setelah itu,
dengan berpakaian rapi setelan lengkap, barulah ia menuju meja kerjanya.
Di waktu senggang, Hasan Tiro menikmati lantunan musik klasik semisal
gubahan Johann Sebastian Bach, Beethoven.
Muzakir mengenangnya sebagai
pribadi yang bersahaja. Saking bersahajanya, seluruh perabotan di
apartemennya, termasuk sebuah televisi tua, tak pernah berganti. Pernah
Muzakir dan Dokter Zaini pernah mencoba menawarkan untuk menggantinya
dengan perabotan baru. “Tapi beliau diam saja, tidak menjawab. Kalau sudah begitu, kita pasti tidak berani bertanya lagi,” ujar Muzakir.
Di mata Muzakir, Hasan Tiro tak
hanya teguh pendirian, namun juga memperhatikan sesuatu sedetail
mungkin. Sampai-sampai, dekorasi rumahnya pun ditata sendiri. “Beliau memperhatikan sesuatu secara detail. Bahkan terkadang lebih halus dari perempuan,” ujar Muzakir.
Hasan Tiro adalah seorang lelaki
yang perfeksionis hingga akhir hayatnya. Muzakir ingat benar ketika
suatu hari ia diminta mengetik surat untuk dikirimkan kepada beberapa
lembaga asing untuk mengkampanyekan perjuangan Aceh. Ternyata, dari
sejumlah kalimat yang disusun, ada satu kata yang kelebihan huruf. “Saya lupa kata-kata persisnya, tapi karena satu huruf yang salah itu, saya harus mengetik ulang surat itu,” ujar Muzakir.
Begitu pula soal kerapian. Di
lain waktu, Muzakir kebagian tugas menjilid kumpulan dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan Aceh. Usai dijilid, Muzakir lantas menyerahkan
dokumen itu kepada Wali. Usai membolak-balik, Hasan Tiro
mengembalikannya sambil berujar,” jilid ulang, ini tidak benar.”
Selidik punya selidik, rupanya salah satu halaman kumpulan dokumen itu
dijilid dengan posisi agak miring. Akhirnya, dokumen itu pun dibongkar
dan jilid ulang.
Masih ada cerita lain soal
kerapian. Ketika perundingan Jenewa tahun 2002 lalu, Hasan Tiro datang
ke sana memantau jalannya perundingan. Salah seorang delegasi yang
datang dari Aceh membuatnya naik darah. Gara-garanya, sang anggota
delegasi tidak memakai dasi dalam pertemuan formal di meja perundingan.
Wali pun langsung menarik kerah baju si anggota delegasi itu. “Nyoe han jeuet lagee nyoe, tanyoe ureueng Aceh harus ta kalon pakiban adat berhubungan dengan ureueng luwa (ini tidak boleh begini, kita orang Aceh harus melihat dan mengetahui bagaimana adat berhubungan dengan orang luar),” hardik Hasan Tiro kepada delegasi dari Aceh itu.
Wali pun langsung menarik kerah baju si anggota delegasi itu. “Nyoe han jeuet lagee nyoe, tanyoe ureueng Aceh harus ta kalon pakiban adat berhubungan dengan ureueng luwa (ini tidak boleh begini, kita orang Aceh harus melihat dan mengetahui bagaimana adat berhubungan dengan orang luar),” hardik Hasan Tiro kepada delegasi dari Aceh itu.
Hubungan dengan dunia luar
memang mendapat perhatian khusus dari Hasan Tiro. Itu sebabnya, kepada
setiap tamu yang datang dari Aceh, ia selalu menekankan pentingnya
menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Logikanya, tak
mungkin membangun hubungan dengan dunia luar jika soal bahasa saja tak
dikuasai. Tak heran, kalau ada tamu yang datang biasanya dites dulu
untuk membaca tulisan dalam Bahasa Inggris.
Pernah suatu ketika datang orang
dari Aceh dan mengaku bisa bahasa Inggris. Tapi, ternyata, setelah
dites, dia membaca dengan tersendat-sendat. “Wali langsung mengangkat kacamata dan menatapnya lekat-lekat sebagai bentuk protes,” kenang Muzakir.
Hasan Tiro juga dikenal tegas
dan punya disiplin tinggi. Untuk memompa semangat pengikutnya,
terkadang Wali harus menunjukkan sikap tak pilih kasih. Ada satu
kejadian yang masih dikenang Muzakir saat ikut pelatihan militer di
Libya pada 1990. Ketika itu, rupanya peserta pelatihan tidak tahan
dengan kerasnya didikan di kamp Tajura. Lalu, beredarlah desas-desus
sebagian peserta pelatihan berniat pulang kampung.
Kabar itu sampai ke telinga
Hasan Tiro, maka murkalah dia. Malamnya, seluruh peserta pelatihan
dikumpulkan. Beliau lalu berpidato sambil menjatuhkan sebilah rencong di
tangannya.
“Lon deungo na yang meuneuk woe gampong. Boh manok kom mandum gata nyoe. Soe kirem boh manok kom keunoe (saya dengar ada yang mau pulang kampung. Telur busuk anda semua. Siapa yang mengirim telur busuk ke sini),” ujar Hasan Tiro dengan nada tinggi. Hening. Semua terdiam sambil menundukkan kepala. Rencana pulang pun batal.
Soal kebiasaannya membawa
rencong, menurut Muzakir, adalah cara Hasan Tiro menjaga semangat. Di
lain waktu, jika sedang meradang, Tengku Hasan akan mengambil rencong
lalu menaruhnya di meja. “Tujuannya untuk menaikkan semangat. Karena semangatlah yang menentukan maju mundurnya sebuah bangsa.”
Hasan Tiro juga kerap meradang
jika kerjaan stafnya tak sesuai harapan. Namun, hm... rupanya Muzakir
dan sejumlah keluarga Aceh di Swedia menyimpan kiat untuk menjinakkan
amarah Wali. Caranya, ketika melihat wajah Wali sedang tegang, mereka
buru-buru pulang ke rumah. Sesaat kemudian sudah balik lagi sambil
menggendong anak kecil. Dan, ketika melihat bocah wajah Wali yang masam
menjadi manis. Lalu Hasan Tiro larut dalam candaan bersama anak kecil. “Mungkin beliau teringat anak dan cucunya yang berpisah sejak kecil,” ujar Muzakir sambil tersenyum.
Kita tahu, ketika memutuskan
pulang ke Aceh untuk angkat senjata pada Oktober 1976, Hasan Tiro
meninggalkan istri dan anak semata wayangnya Karim Tiro yang masih
berusia enam tahun di Amerika Serikat.
Ia memilih naik gunung dan
mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Keluar masuk hutan
sejak kurun 30 Oktober 1976, dia hengkang ke Malaysia pada 29 Maret
1979. Sempat singgah di sejumlah negara, ia mendapat suaka politik di
Swedia. Di negara Skandinavia ini juga dia mengantong kewarganegaraan.
Pengalaman tiga tahun di belantara Aceh dituangkannya dalam buku catatan
harian berjudul The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan
Tiro.
Sejak itu, Hasan Tiro membentuk
pemerintahan di pengasingan. Sebagai Presiden ASNLF (Aceh Sumatra
National Liberation Front), dia melanjutkan perjuangan dari Norsborg,
Stockholm, hingga akhirnya memutuskan berdamai dengan pemerintah
Indonesia pada 15 Agustus 2005.
Banyak pihak yang tak percaya
dengan keputusan itu. Tak sedikit pula yang menduga keputusan berdamai
bukan datang dari Hasan Tiro melainkan dari Mentroe Malik dan Dokter
Zaini. Kecurigaan itu terbantahkan ketika Wali Nanggroe akhirnya
memutuskan pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Di halaman masjid Raya
Banda Aceh, Hasan Tiro meminta masyarakat Aceh menjaga perdamaian yang
telah dicapai demi masa depan rakyat Aceh.
Sayang, Wali tak sempat
berlama-lama menetap di negeri yang diperjuangkan lebih separuh usianya.
Pada 3 Juni 2010, malaikat menjemputnya di Rumah Sakit Zainoel Abidin
Banda Aceh, 3 Juni 2010. Ia pergi dalam sunyi: tanpa didampingi istri
dan anaknya Karim Tiro. Ia pergi dengan meninggalkan perdamaian.
“Wali
tahu kapan kita berdamai dan kapan kita harus berperang. Damai yang
sudah ada sekarang mesti kita pelihara. Ini amanah wali yang mesti kita
jalankan,” ujar Dokter Zaini.
Masa-masa perjuangan bersenjata
memang telah menjadi masa lalu dalam sejarah Aceh. Hasan Tiro, sang
mahaguru Aceh, tentu tak ingin pengorbanannya mengangkat derajat Aceh
sia-sia.
Itu sebabnya, kepada pengikutnya, ia berpesan,” While man powerless to change his past, he still the master of his future. Because his future is largely determined by his present intention and action."
Itu sebabnya, kepada pengikutnya, ia berpesan,” While man powerless to change his past, he still the master of his future. Because his future is largely determined by his present intention and action."
"Seseorang
masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam
meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya ditentukan oleh
aksinya hari ini."
***
Sumber Tabloid Beranda Edisi III, Juni 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar